Oleh Ganezh
“Kikan bukan traveler, mapala, apa lagi gadis petualang. Hanya sebagai gadis kota kebanyakan yang sedang bepergian, lalu musibah pun datang. Pesawat yang ditumpanginya jatuh di pedalaman hutan Kalimantan. Beruntung ia bertemu Alang, rekan seperjalanan yang seorang mapala. Namun, korban mulai berjatuhan. Alang pun mengalami cidera. Sementara ia harus terus bertahan dengan segala ketidaktahuannya. Akan terus berjuang mempertahankan hidup, atau harus menyerah pada nasib?”
Penulisan novel ini terinspirasi dari tragedi jatuhnya pesawat Fairchild Uruguay di Pegunungan Andes (1972), juga musibah jatuhnya Twin Otter Merpati Air Lines di Gunung Tinombala (1977). Dari kedua musibah itu terdapat kisah para survivor yang selamat. Mereka mampu bertahan hidup dari keganasan alam liar. Setelah direnungkan, jadi sebenarnya musibah survival memang bukanlah pilihan. Tetapi tak bisa ditolak, bila nasib berkehendak. Langkah selanjutnya akan bergantung pada kesiapan kita sendiri.
Novel ini tidak hanya dipersembahkan bagi para mapala atau petualang, tapi untuk semua kalangan. Terutama bagi para orang tua yang sering melarang anaknya, saat ingin “mengenal alam” secara benar dan bijak. Novel ini juga tidak menganjurkan orang untuk menjadi mapala atau petualang, tapi sekadar ingin mengingatkan kembali, bahwa alam memang tak bisa dilawan, apa lagi ditaklukkan. Kecuali berusaha dikenali, dipelajari dan dipahami sejak dini. Agar bisa mensiasati serta menanggulangi musibah alam yang suatu ketika bisa saja menghampiri. Karena itu pengetahuan survival itu menjadi penting bagi siapa pun. Sebab musibah survival bisa menimpa siapa saja, dan kapan saja. Tak memandang dia penggiat alam atau bukan. Selanjutnya, kita sebagai manusia-manusia yang berpikir untuk mampu membekali diri. Asuransi jiwa tak hanya berupa materi, namun juga dalam bentuk penguasaan mental yang kuat, serta pengetahuan yang pernah kita pelajari.
Ambil contoh dari negara-negara maju, mereka memiliki program bagi anak-anak dan remajanya untuk mengenal alam bebas. Semisal program Operation Raleigh dan Operation Drake, sebuah proyek—yang dibiayai sponsor dan negara—untuk melepas para remaja mengembara ke bagian dunia asing. Atau yang cukup populer adalah program Summer Camp, atau kegiatan liburan musim panas. Di mana anak-anak dan para remaja diajak untuk berinteraksi dengan alam. Misalnya berkemah, mendaki gunung, belajar membikin api, membikin jerat, membaca peta dan kompas, mencari jejak, memancing, berenang, bermain kano, dan sebagainya. Pahamilah, mereka tidak sedang berniat membentuk generasi mudanya menjadi pendaki gunung, backpacker, traveler, atau anggota kelompok pecinta alam. Melainkan berusaha membekali generasi muda mereka dengan pengetahuan serta tata cara mempertahankan hidup, bila suatu hari terpaksa dikondisikan pada situasi antara hidup dan mati. Kondisi di mana harus survive akibat tertimpa musibah. Mereka tidak “buta” dan panik, karena telah dibekali [meski pengetahuan dasar] agar lebih bermental kuat dan mampu bertahan. Dan, alam memang guru yang paling natural.
* * *