
Berapa usia Bookish Journalers sekarang? Jika diantara kamu masih berada di usia belia, bersyukurlah karena dengan usia beliamu itu, kamu masih punya banyak waktu untuk merencanakan masa depan yang indah.
Ketika bertambahnya umur seseorang, bertambah pula tingkat kedewasaan seseorang. Entah itu dalam bersikap, bertanggung jawab dan mengambil keputusan. Rasanya perlu meluangkan waktu untuk sejenak berdiam diri, merenungkan hal-hal yang ingin dituju nantinya.
Ade Ubaidil mencoba berbagi 15 cerpennya untuk para pembaca yang sedang berada di usia 26 atau menuju usia tersebut. Termaktub dalam buku Apa Yang Kita Bicarakan di Usia 26?
Ade menghadirkan tokoh dalam tingkatan fase usia yang beragam; masa kecil, masa remaja, dan masa dewasa. Ketiganya dihadapkan dengan tingkatan problematikanya masing-masing. Akan banyak cara, sikap, dan sudut pandang yang dihadirkan lewat para tokoh karangannya ketika hendak mengambil sebuah keputusan. Pembaca boleh bersepakatan dengannya atau mendebatnya.
Berbagai pertanyaan mungkin sudah mulai menghantui ketika berada di usia 20-an ke atas. Entah itu soal pernikahan, kelulusan, percintaan, atau bahkan soal karir. Banyak keputusan yang harus segera diselesaikan saat menginjak usia 20-an, ingin pergi dari status quo misalnya.
Apa Yang Kita Bicarakan di Usia 26? Terbitan Epigraf ini berjumlah 164 halaman yang sudah dapat dipesan melalui toko buku online sejak Juni 2019.
Ada yang menyita perhatian dari salah satu postingan Ade melalui Instagramnya @adeubaidil, ia menanyakan kepada pengikutnya di Instagram dengan pertanyaan seperti ini: Apa yang tidak ingin kamu bicarakan di usia 26 atau di usiamu saat ini?. Jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut telah dirangkum Bookish Journal di bawah ini.
1. Usia seperempat abad ini tampaknya menjadi jendela yang menghadapkan diri pada realitas yang sebelumnya kita bercermin dalam idealitas. Semasa menempuh studi, pikiran dan pandangan diri selalu dihadapkan dengan hal-hal utopis. Suatu kondisi serba kesempurnaan yang tak bercela. Begitu sampai langkah kaki pada gerbang sarjana, ternyata segala kesempurnaan yang ada dalam benak mendadak pudar terdegradasi oleh kondisi.
Kegelisahan muncul karena ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Belum lagi sang waktu mengejar bagaimana langkah kaki yang tidak pasti ini, antara melanjutkan idealisme diri atau melucuti segala kepiawaian dan kreativitas demi tunduk pada hegemoni.
Aku mungkin tak sendiri. Tapi, itulah mimpi buruk setiap malam yang menjadikan pagiku tak benar-benar utuh. Aku seperti terbelenggu dalam kemunafikan, realitas semu, dan kesadaran palsu.
Apakah hidup memang seperti ini?
Apakah aku harus berganti wajah untuk melanjutkan usia yang telah melampaui dua puluh lima?
Aku tak mengerti harus berbuat apa.
Dari semua kegelisahan ini aku paling enggan berbicara tentang cita-cita. Karena cita-cita hanyalah pembicaraan anak kecil yang tak mengenal realita. – @prasdenny
2. Yang tidak ingin kubicarakan di usia saat ini adalah tentang ketidakmampuanku untuk mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup. Karena cita-cita sejak dulu ialah hidup dengan keberanian. Tak ingin juga membicarakan atau mengenalkan diri secara dalam: karena yang mana kekurangan-kekuranganmu yang bisa saja diketahui orang lain. Tak ada orang yang suka jika kamu lemah, tidak mampu berdiri sendiri, maka dari itu membangun diri lebih penting daripada fokus terhadap kekurangan-kekurangan. – @marfa.doc
Nah, jika kamu ditanya dengan pertanyaan yang sama. Kamu bakal jawab apa nih Bookish Journalers?
Penulis: Ayu Pratiwi
Editor: B. Romansha
________________________________
Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di bookishjournal.com [24 Juli 2019].