Oleh Ratna Ayu Budhiarti
Beberapa bulan lalu saya membaca memoar travelling berjudul Titik Nol karya Agustinus Wibowo. Namun terhenti membaca di halaman 239 dari total 552 halaman. Entah mengapa, kebiasaan menyelingi dengan bacaan lain sesekali memang timbul. Biasanya antara cara berceritanya yang bikin saya “lelah” atau merasa “tertekan”, atau memang sedang tidak ingin setia membaca hingga tamat karena godaan buku lain lebih kuat. Bisa dibilang saya sudah membaca setengah jalan buku Titik Nol. Jadi sudah ada gambaran bagaimana Agustinus merasakan “sesuatu yang salah” ketika melihat kegiatan biksu jadi tontonan para turis. Seperti juga yang dirasakan oleh Daniel Mahendra (DM), penulis Alaya.
Satu hal yang perlu digaris bawahi, Alaya hanya dilengkapi peta, tidak ada pemanis foto-foto seperti dalam buku yang saya sebut sebelumnya. Jadi, imajinasi pembaca sangat tergantung pada deskripsi penulis terhadap semua hal.
Saya mulai membaca Alaya ketika dalam perjalanan menuju sebuah kota. Di atas kereta, seluruh kata-kata menari menciptakan harmoni sekaligus benturan pembanding. Terutama ketika menaiki kereta T22 dari Chengdu menuju Tibet, tempat impian DM. Ya, ia terobsesi akibat paparan bacaan “Tintin in Tibet” di masa kecil. Kita semua maklum, apa pun yang melekat begitu kuat dalam ingatan masa kecil dan menjadi impian, suatu saat kelak akan terwujud dengan cara yang tak terpikirkan sebelumnya. Tentu, itu pun jika kita terus-menerus menggenggam impian tersebut, maka alam bawah sadar kita akan bekerja sama dengan semesta menarik segala yang berkaitan untuk menjadikannya nyata.
DM tidak melewatkan informasi detail. Nampaknya selama dalam perjalanan yang berbekal laptop itu, ia selalu menyempatkan untuk menulis kapan pun. Dan tambahan informasi yakin dipoleskan sana sini demi menguatkan tulisan. Informasi mengenai letak sebuah kota, mulai dari ketinggian di atas permukaan laut, jarak tempuh dari kota lain, kendaraan yang digunakan, hingga suasana kota dan warna busana penduduk setempat digambarkan dengan cukup baik.
Pengalaman tentang pertanyaan asal negara dan kesulitan komunikasi akibat perbedaan bahasa kerap membuat saya tertawa kecil di kereta. Untung saya duduk sendirian. Ya, betapa pengalaman serupa pernah juga saya alami ketika melancong ke tempat di mana orang-orangnya tidak bisa berbahasa Inggris. Dan tidak tahu di mana letak Indonesia! Pertanyaan dan jawaban tidak pernah berjodoh meskipun sudah menggunakan bahasa isyarat. Akibatnya, ini bisa membuat kita sedikit frustrasi, apalagi jika sedang kelaparan. Seperti saat DM nyelonong ke dapur sebuah restoran kecil di pinggir Jalan Jiangsu, karena tidak bisa membaca menu dalam bahasa Mandarin. Ujung-ujungnya tetap makan mi juga. Dalam porsi besar, mi kuah bertabur daging yak itu saya bayangkan lezat rasanya, walau DM kesulitan mencekit mi yang besar dan licin itu dengan sumpit. Kali lain, untuk ikut masuk ke Mesjid Lhasa demi merasakan pengalaman salat di mesjid tertinggi, DM harus menggunakan bahasa isyarat dan mengatupkan mulut ketika hendak mengucapkan kata “amin” keras-keras selepas Al-Fatihah selesai berkumandang. Begitulah, kebiasaan berbeda di tempat yang jauh dari Indonesia, membuat sang pejalan dipaksa beradaptasi dengan banyak hal. Juga bagaimana Acute Mountain Sickness yang menyiksa fisik membuatnya berpikir akan meninggal saat itu juga ketika jauh dari tanah air.
Sebuah perjalanan tentu menyelipkan kisah manis dan menggelikan. Bagaimana wanita cantik di sebelah sempat membuatnya salah tingkah, tapi ketika melihatnya tertidur, DM memilih melupakan kecantikannya dan menikmati pemandangan sepanjang bus bergerak. Rupanya DM tidak suka melihat wanita itu menganga! Ha-ha-ha. Namun, cinta lokasi tak dapat dihindari ketika ia bertemu wanita Prancis. Apa yang terjadi di antara mereka manis sekali. Saya membayangkan betapa romantis adegan itu, saking manisnya seperti adegan dalam film. Saya sempat berpikir jangan-jangan ini hanya bumbu. Namun rupanya itu benar terjadi.
Dalam Alaya, DM seperti sedang bercerita pada Sekala, anaknya, tentang perjalanan mewujudkan impian yang dia lakukan. Dalam beberapa bab, kisah tentang Sekala dituliskan sebagai pembuka. Maka pembaca pun seolah diajak memahami bahwa sejatinya hidup itu memang sebuah perjalanan. Segala langkah yang diambil dan diputuskan, selalu ada risiko dan konsekwensi yang dihadapi. Pilihannya hanya satu: berani menghadapinya.
Kembali ke Indonesia adalah soal yang lain. Kembali pada kenyataan sekaligus kesadaran bahwa perjalanan jauh yang dilakukan DM untuk mewujudkan mimpinya, tetap saja menohoknya dengan pertanyaan sang sahabat. Pertanyaan klasik yang tidak asing dilontarkan ketika usia sudah memasuki usia dewasa: menikah.
Namun, selain tebaran diksi-diksi yang tidak umum, buku Alaya ini bukan tanpa cela. Maksud saya, setiap buku selalu memiliki celah yang tidak memuaskan pembaca. Yang sudah umum adalah kesalahan ketik, dan rasanya saya belum pernah menjumpai buku yang luput dari itu, walau satu saja kealpaannya. Ada logika waktu yang sedikit melompat di halaman 351, sehingga saya sempat berkerut kening mencerna dan membacanya dua kali. Tapi mungkin karena penulis kurang memberikan penjelasan mengenai jam operasional sebuah warung kopi di terminal bus Pokhara. Selebihnya, saya merasa senang karena buku ini keras kepala tidak mau disela dengan buku bacaan lain.
Bagi para penyuka petualangan, buku Alaya saya rekomendasikan untuk dibaca. Anda akan menemukan keasyikan tersendiri ketika terhanyut dalam cerita.
________________________________
Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di ratnaayubudhiarti.wordpress.com dan steemit.com [2 Februari 2022].