Andai Ayahku Seorang Penulis*

Tepat di Hari Raya Idul Fitri 1437 H, saya sangat bersyukur karena bisa menyelesaikan naskah memoar ini. Meski banyak yang saya anggap belum sempurna dan bagus untuk sebuah tulisan, setidaknya perjalanan panjang yang saya lewati sudah tuntas dipindahkan dalam sebuah tulisan. Banyak sekali yang saya pelajari dari perjalanan ini. Sepanjang mengingat perjalanan dan membuka catatan-catatan di buku tulis perjalanan, saya banyak menemukan bahwa saya sempat takut, lelah dan bahkan hampir putus asa. Banyak hal pula yang sebenarnya, mungkin, tak pantas diceritakan kepada orang banyak, seperti perdebatan dan keributan dengan kawan seperjalanan. Namun akhirnya saya memutuskan tetap mengangkat hal itu, karena selalu ada pelajaran yang bisa didapat dari setiap inci kehidupan, meski itu terkesan memalukan.

Mulanya buku ini hanyalah tulisan-tulisan perjalanan yang saya kirim ke media massa elektronik. Saat itu cerita perjalanan berjudul Si Naga dari Samudera Hindia dimuat di Majalah Xplore yang dijadikan dua bagian. Kemudian secara beruntun sebanyak 10 bagian dimuat berturut-turut. Akhirnya saya memutuskan terus melengkapi tulisan dua perjalanan itu, hingga jadilah satu bundel naskah. Entah mengapa, setiap saya menulis, saya menemukan kebahagiaan, ketenangan, dan kelegaan seusainya.

Siapa yang tak bahagia perjalanannya dapat dituangkan dalam sebuah catatan perjalanan penuh? Namun, setelah dituliskan, saya sempat ragu, pantaskah perjalanan ini dijadikan buku? Di lain sisi, jika itu hanya disimpan untuk konsumsi sendiri, kesalahan yang pernah saya lakukan mungkin akan terulang kembali oleh orang lain di lain waktu. Tak akan ada yang mempelajari dan mengambil hikmahnya.

Saya teringat sebuah postingan serupa syair di akun sosial media pribadi saya. Saya menulis:

Andai Ayahku Seorang Penulis 
Andai ayahku seorang penulis, mungkin aku tahu apa yang ada dalam pikirannya meski sudah tak bertemu lagi dengannya. 
Andai ayahku seorang penulis, mungkin aku tahu apa saja yang dilalui dalam hidupnya meski aku sudah tak bisa mendengar ceritanya. 
Andai ayahku seorang penulis, mungkin aku tahu bagaimana caranya melimpahkan cinta pada seorang wanita yang kusebut ibu, meski kini aku tak pernah mendengar suaranya. 
Andai ayahku seorang penulis, mungkin aku tahu cara ia bertutur meski kini ia sudah tiada. 
16 tahun sudah terlewati tanpanya. Perlahan ingatanku tentangnya makin tersisa sedikit. Selembar foto pun aku tak punya. Aku takut ia benar-benar hilang dari pikiranku. 
Maka kini aku menulis. Supaya kelak, jika aku telah tiada dan meninggalkan anak-anak balita bersama ibunya, aku sudah punya diriku dalam rupa lain. 
Supaya ia bisa tahu apa yang ada dalam pikiranku, apa yang sudah kulalui, bagaimana caraku melimpahkan cinta pada seorang wanita yang ia sebut ibu, dan agar ia tahu bagaimana caraku bertutur meski sudah tak bertemu lagi. Aku tak pernah tahu kapan aku tiada. Maka aku menulis.

Post on Jakarta, 29.3.2016.

Saya pikir, buku memoar perjalanan ini saya persembahkan untuk anak cucu saya kelak. Agar mereka tahu bahwa ada seorang remaja tanggung yang memilih jalan penelusuran panjang, yang kemudian ia sebut sebagai ayah. Mungkin terkesan agak lebay, tapi begitulah. Setidaknya saya punya alasan besar untuk membukukan perjalanan ini. Dan apabila ada yang memetik hikmah dari perjalanan ini, saya sangat bersyukur.

Naskah ini sudah selesai saya tulis, namun saya masih merasa belum sempurna. Hati saya merasa belum tuntas untuk melepaskan naskah ini. Kapankah naskah ini akan diterbitkan? Saya kurang tahu. Saya memutuskan menyimpan naskah ini lagi. Selain itu saya harus fokus pada tugas akhir program Masa Anggota Muda Wanadri (Mamud). Mungkin setelah usai program, saya baru bisa menengok tulisan ini lagi dan menyempurnakannya sebelum dilepas ke masyarakat.

Ditemani sahutan takbir kemenangan, Kampung Kareo Kulon, Baros. Sembari menunggu pelaksanaan salat Idul Fitri.
05.38 pagi, Serang, 1 Syawal 1437 Hijriah.

Terpisahnya Anak Batin
Pada akhirnya naskah ini rampung sempurna. Setelah tertunda karena harus fokus menyelesaikan tugas akhir program Anggota Muda Wanadri (AMW) yakni Ekspedisi Pendataan di Pesisir Utara Subang, akhirnya saya berhasil kembali bertanggungjawab pada anak batin saya ini. Meski kesibukan lain juga berdatangan.

Kini buku ini ada di tangan kalian, para pembaca budiman. Dalam buku Matinya Sang Pengarang karya Roland Barthes, saya sepakat bahwa: ketika pengarang menulis karyanya, maka sebenarnya ia (pengarang) telah mati. Ia terpisah dari teksnya.

Pada akhirnya setiap pembaca bebas mengemukakan pendapatnya akan teks dalam buku ini. Saya sudah melepas buku ini. Saya bisa hanya tertawa atau tersenyum saat orang lain menduga-duga makna lain dari isi buku ini, tidak sepakat, atau menghubungkannya dengan hal lain. Karya ini sudah lahir, keluar dari rahim batin dan pemikiran saya. Biarkan ia hidup dan tumbuh di masyarakat. Survive dengan segala bentuk tanggapan pembaca yang beragam. Biarkan ia bercerita dan menjawab sendiri saat ada komentar dari pembaca akan isinya. Demikian.

Proses Menulis
Di Bandung, saat saya tengah mengerjakan editing naskah buku penulis lain, Daniel Mahendra― sep sekaligus kerani Penerbit Epigraf―tetiba menanyakan: selama ini saya menulis di mana? Ia memang tahu saya tidak memiliki laptop atau komputer pribadi. Untuk bekerja sebagai editor saja saya menumpang di rumahnya, menggunakan notebook miliknya.

Saya menjelaskan kalau selama ini saya menulis dengan menumpang kepada kawan, tetangga atau saudara yang memiliki laptop. Om Daniel mengatakan: proses tersebut harus saya tulis. Itu sangat menginspirasi, katanya. Banyak orang yang beruntung memiliki laptop, namun tidak ada karya yang dapat mereka hasilkan. Padahal mengaku ingin jadi penulis. Menurutnya, orang seperti saya bisa dibilang langka. Saya baru menyadari itu. Baiklah, saya ingin sedikit berbagi proses saya menghasilkan sebuah tulisan.

Saat saya SMA, pertama kali saya mengikuti lomba karya tulis ilmiah, saya menumpang di komputer tetangga untuk mengerjakannya. Alhamdulillah, saat itu saya dapat juara. Sebagai ucapan terima kasih, saya mentraktir es krim si pemilik komputer. Sebelumnya saya pernah mengikuti lomba penulisan artikel, saat saya duduk di bangku kelas satu SMA. Saat itu saya menggunakan tulisan tangan, langsung di lokasi perlombaan. Jadi saya tak perlu pinjam komputer orang lain. Dan alhamdulillah, saya masuk 3 besar. Sejak itulah saya memantapkan diri ingin terus mengembangkan kemampuan saya dalam dunia tulis-menulis. Saya akhirnya mengikuti Kelas Menulis Rumah Dunia angkatan 19 saat kelas dua di awal tahun 2012.

Sejak saat itu saya sangat gemar menginap di Rumah Dunia (RD) dengan alasan bisa meminjam komputer RD ketika malam hari. Saya juga tidak menyia-nyaiakan status saya sebagai Ketua OSIS di sekolah. Saya memiliki kewenangan menggunakan salah satu komputer di ruang sekretariat sekolah untuk mengerjakan segala tugas Ketua OSIS. Di sela pengerjaan atau seusai saya mengerjakan tugas, saya menggunakan komputer untuk menulis cerita-cerita fiksi, feature dan lain-lain.

Banyak yang sudah dimuat di media. Mulai dari lokal sampai nasional. Dan yang membanggakan saat itu adalah cerita pendek saya dimuat di Majalah Story, majalah yang menjadi impian banyak penulis muda di Indonesia saat itu. Tak hanya itu, feature profil sekolah yang saya tulis, tak lama kemudian dimuat di Majalah Story. Dua halaman penuh dan termasuk foto-foto. Saya langsung menyodorkannya pada kepala sekolah. Dan alhamdulillah, Pak Kepsek gembira. Ia menyemangati saya untuk terus menulis.

Kebetulan, di rumah, Kakak juga membeli satu set komputer. Saat tidak digunakan olehnya, saya menggunakannya untuk menulis. Bahkan, saat menjelang Ujian Nasional (UN), saya melewati masa ketakutan menghadapi UN dengan begadang membuat tulisan. Satu novel fantasi serta banyak cerita pendek saya hasilkan saat itu. Sayang, tulisan-tulisan tersebut banyak yang hilang karena flashdisk saya raib. Cerita yang sempat terkirim ke media aman tersimpan di email. Sebagian besar cerpen dalam kumcer Pendakian Terakhir lahir di masa itu. Beruntung naskah novel juga aman. Saya masih menyimpannya untuk diterbitkan di kemudian hari.

Lepas dari SMA, saya ditarik Kak Hilal masuk Radar Banten sebagai lifestyle journalist untuk rubrik Xpresi. Setiap saya masuk kantor, saya menggunakan komputer kantor untuk menulis tulisan pribadi seusai berita dan tulisan koran diserahkan ke editor. Setahun saya di sana, sampai kemudian saya mengikuti PDW 2014 dan menjadi Anggota Muda Wanadri (AMW). Pada masa inilah saya mulai jarang menulis. Fokus saya banyak tersedot ke program. Untuk menjaga agar saya tidak kehilangan kemampuan menulis, sesekali saya menyempatkan menulis menggunakan laptop kawan seangkatan. Kebanyakan tulisan saya mengenai perjalanan. Untuk fiksi, saya masih sempat menulis beberapa cerita dan satu naskah novelet. Saya simpan dan sebagian ada yang saya posting di website pribadi.

Naskah buku ini pun saya tulis saat masih AMW di sela-sela kegiatan program. Saya biasanya menulis menggunakan laptop kawan yang kebetulan saya pinjam atau saat saya berkunjung ke rumahnya dan melihat laptop atau komputernya tidak digunakan.

Yah, begitulah proses perjuangan saya untuk menghasilkan tulisan. Sejak mulai menulis, saya memang memimpikan memiliki laptop pribadi. Selain lebih privasi, saya juga bisa lebih leluasa dalam menulis. Tapi, barangkali Allah sudah menyiapkan sesuatu yang tidak saya ketahui. Atau Ia tengah melatih saya. Mungkin kalau saya diberi laptop, bisa saja saya terlena dan malas menulis. Bukan keberhasilan namanya kalau tidak ada perjuangan.

Say Thanks
Kini, saya ingin mengucapkan puji syukur kepada Sang Pemilik Segala Catatan, Allah SWT. Serta puja kepada Baginda Rasulullah SAW.

Saya juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada kawan-kawan yang telah membantu perjalanan dan yang mendukung dalam penulisan buku ini. Bang Asep, Bang Kumkum, Bang Fahmi, Bang Deperi, Bang Hari BR, Om Don Dwiko, Bang Kirom, Bang Purba, Bang Aji, Teh Vikky, Teh Rusda, Bang Uzi, Bang Zainal, Kang Alisar, Pakce Eko Purwanto, tim penjelajah Mada, Adi, Alfi, Wulan, Indra, Sam, Diky, Juliansyah, serta seluruh keluarga besar Topan Rimba-Puspa Rawa dan Wanadri yang tak bisa saya sebutkan satu per satu.

Buat mereka yang selalu men-support bak keluarga yang begitu hangat. Enek Atisah, Mas Gol A Gong, Bu Tias Tatanka, Mas Toto ST Radik, Kak Hilal, Bang Devit, Bang Riezky, Bang Ganezh, Om Daniel Mahendra, Ibu Eva, serta semuanya yang begitu baik menjadi teman dalam perbincangan.

Selamat menikmati perjalanan saya. Dan, mari sejarahkan perjalananmu. Bukankah setiap pejalan punya cerita?

22.09 malam, Bandung, 15 Desember 2016.

Salam,
Zhibril A.

* Tulisan ini merupakan prakata dari buku “Titik Awal; setiap pejalan punya cerita” yang akan segera terbit dalam waktu dekat ini.