Apa Pengertian Rumah Bagimu?

Oleh Sudury Septa Mardiah

Itulah pertanyaan pertama yang dilemparkan oleh buku Rumah Tanpa Alamat Surat pada pembaca. Kebetulan buku yang saya miliki adalah cetakan pertama dengan kover buku yang diberi efek hitam dan putih. Kover buku ini membuat saya menerka bahwa buku ini berisi cerita yang haru, kelam, dan dingin. Dugaanku bisa dibilang tepat.

Daniel Mahendra dan Rella Mart masing-masing menyuguhkan enam cerpen, sehingga total ada dua belas cerpen yang siap mengombang-ambingkan emosi pembacanya. Ada dua cerpen yang bagi saya paling menarik: Ketika Malam Bertambah Malam (ditulis oleh Daniel) dan Sebuah Pertanyaan Saja (ditulis oleh Rella).

Entah sudah berapa kali saya membaca cerita Ketika Malam Bertambah Malam. Dan rasa mual tetap timbul selagi saya membaca dari awal hingga akhir. (Anehnya tetap mau membacanya berulang-ulang, ya?)

Ceritanya: MENGERIKAN! Kepiawaian penulis dalam mendeskripsikan tokoh dan suasana agaknya berbahaya juga. Padahal ia sudah membatasi diri untuk tidak menuliskan secara detail mengenai kondisi tubuh Raswan yang sudah tak keruan akibat dihajar masa. Bila ia tak membatasi diri, bisa-bisa ceritanya ini membuat orang muntah. Melalui tulisannya, saya bisa melihat tubuh Raswan yang sudah tidak memiliki tempurung kepala, otaknya berhamburan, kemaluannya putus, bola mata yang hancur dan ….. ahhh! Masih banyak lagi. Gila!

Saya merasa cerita ini berhubungan dengan keseharian kita, hanya saja berbeda konteks. Cobalah tengok media sosial. Betapa banyak warganet yang asyik ngegas dan melemparkan kritik tanpa didasari dengan data. Ngegas aja dulu, urusan benar atau nggaknya belakangan. Itulah yang dialami oleh Raswan, pemuda yang mati dengan tragis akibat tuduhan warga yang tidak didasari dengan bukti.

Ada satu lagi cerita menarik dalam kumpulan cerpen ini. Cerita ini pun sangat dekat dengan keseharian kita. Satu pertanyaan yang pasti akrab sekali dan umumnya sering didengar saat kumpul keluarga pada momen lebaran yaitu: Kapan kau akan menikah?

Sesungguhnya ceritanya sederhana. Seorang ibu yang sedang bertarung dengan penyakit yang menggerogoti tubuhnya, dibuat risau oleh putrinya yang tak kunjung menikah. Padahal usianya sudah tiga puluh tahun lewat. Putrinya terus dihujani pertanyaan yang sama tiap kali ada kesempatan. Pemahaman tentang pernikahan yang bertolak belakang, membuat putrinya kebingungan dan enggan menjawab pertanyaan ibunya.

Cerita ini memberikan pandangan yang berbeda tentang menikah. 

“Menikah di mata orang adalah sebuah kewajaran asasi, jika tidak … bisa dianggap sakit, kelainan, egois atau terlalu banyak kesalahan. Bukannya dihargai sebagai pilihan hidup. Padahal orang mengenal cinta jauh hari sebelum surat nikah diciptakan. Menikah hanya salah satu produk politik. ….” (Hal. 50)

“Menikah … betapa manis wajah orang-orang yang menikah. Betapa indah dihias mati-matian. Seandainya Tuhan tidak menciptakan libido di dunia manusia, masih berbondong-bondongkah manusia menikah di bulan besar?” (Hal. 51)

Cerita lainnya dalam buku ini pun tak kalah menarik. Meskipun ada juga cerita yang membuat saya bingung. Kebingungan yang dialami oleh tokoh utama dalam salah satu cerpen, rupanya (bisa) menular pada saya.

Bandung, 13 Januari 2021