Asmara dalam Putaran Mevlevilik

Oleh Irsyad Ridho*

Mengapa asmara tak habis-habisnya menjadi motif puisi? Ia tampaknya seperti hasrat yang terus terpendam yang kadang muncul bergelora, kadang hanya riak yang mengalir pelan. Dalam khazanah puisi modern di Indonesia, hasrat terpendam itu telah melahirkan Amir Hamzah, penyair penting di era Pujangga Baru. Seluruh puisinya memang diabdikan untuk menjadi wadah asmara. Namun, kita juga tahu bahwa, sebagai sebuah wadah, puisi rupanya tak mampu menampung asmara. Puisi pada akhirnya membuat asmara redup perlahan untuk kemudian mati. Karena itu, meski sia-sia, para penyair tak mau berhenti mencipta puisi. Sejak Amir Hamzah, sejarah puisi modern Indonesia tidak lain hanyalah altar bagi asmara.

Mungkin kalimat ini terlalu berlebihan, tetapi kita memang sedang berhadapan dengan paradoks dari hubungan kata dan rasa. Jika asmara adalah sebuah rasa dan puisi adalah kata, maka hubungan keduanya tidak dapat ditentukan dari salah satu sisinya, baik dari sisi kata maupun sisi rasa, sebab keduanya saling mematikan sekaligus saling menghidupkan. Kita membutuhkan pendekatan teoretis yang mampu terlibat dalam putaran Mevlevilik a la Rumi, bukan pendekatan modernis yang positivistik.

Sebelum pendekatan semacam itu ada (mungkin sudah ada, saya tidak tahu), ada baiknya kita memasuki dunia yang diciptakan oleh penulis kumpulan puisi yang sekarang ada di tangan Anda ini. Saya tidak tahu Anda akan mulai dari mana, tetapi saya sendiri lebih suka memulai perbincangan ini dengan puisi yang berjudul “Berhala”. Ini adalah puisi yang menohok dirinya sendiri dengan cara yang jeli meminjam hujatan kuno tentang sebuah kutukan.

Terkutuklah kalian para pembuat puisi
Yang mengubah kata-kata menjadi berhala,

Masalahnya, adakah kata-kata yang tidak menjadi berhala? Bukankah pada akhirnya segala kata akan berubah menjadi berhala? Dalam puisi, apalagi. Maka, semua penyair akan terkutuk. Tentu saja, puisi ini sedang mengejek dirinya sendiri. Tidak penting lagi, dan juga sama sekali tidak relevan, untuk bertanya kutukan apa yang akan menimpa para penyair, termasuk penyair yang menulis “Berhala” ini. Yang penting hanyalah bahwa puisi ini mampu mempermainkan dirinya sendiri. Ini adalah syarat pertama untuk memulai putaran Mevlevilik karena selanjutnya yang ada adalah transformasi Phoenix yang tak henti-henti untuk mati dan bangkit berkali-kali.

Masalahnya, adakah kata-kata yang tidak menjadi berhala? Bukankah pada akhirnya segala kata akan berubah menjadi berhala? Dalam puisi, apalagi. Maka, semua penyair akan terkutuk. Tentu saja, puisi ini sedang mengejek dirinya sendiri. Tidak penting lagi, dan juga sama sekali tidak relevan, untuk bertanya kutukan apa yang akan menimpa para penyair, termasuk penyair yang menulis “Berhala” ini. Yang penting hanyalah bahwa puisi ini mampu mempermainkan dirinya sendiri. Ini adalah syarat pertama untuk memulai putaran Mevlevilik karena selanjutnya yang ada adalah transformasi Phoenix yang tak henti-henti untuk mati dan bangkit berkali-kali.

Karena itu, sekarang kita bisa pindah ke puisi utama dalam kumpulan ini, yaitu “Sayap-sayap Phoenix”. Puisi ini dimulai dengan level kesadaran yang rendah, yaitu rasa bersalah, dosa, moralitas. Maksud saya, hanya dalam level kehidupan yang rendah, moralitas menjadi relevan. Putus asa dan pengkhianatan adalah penderitaan yang dihasilkan oleh kesadaran level rendah ini. Bait kedua bicara tentang itu. Penderitaan inilah yang dibawa dalam kematian untuk ditempa sebagai bahan dasar bagi kehidupan selanjutnya, sebuah level kesadaran yang baru. Pada level ini yang relevan bukan lagi moralitas, tetapi keindahan. Sebuah keindahan tanpa trauma, yang pesonanya mampu “Menjadi puncak gairah yang menghanguskan”. Pada level ini, kematian diinginkan dengan penuh gairah. Tidak seperti pada level yang lebih rendah, pada level estetis ini kematian dijalani tidak dengan motif perjuangan atau dendam ideologis maupun keputus-asaan eksistensialis. Tidak ada tujuan moral dari kematian, yang ada hanyalah indahnya hangus dalam tarian alam semesta, untuk kemudian “tetas sebagai pelangi”. Pada level ini, apa yang dulunya hanya simbolik dari perspektif alam moral dapat merupakan sesuatu yang “real”. Maksud saya, “tetas sebagai pelangi” memang pada kenyataannya demikian, bukan semata-mata simbolik. Lantas, apa yang ada pada level selanjutnya? Bait terakhir puisi ini menyebutnya dengan “Dalam siklus kehidupan tanpa penghabisan”. Ini adalah ukuran yang relatif, dalam arti bahwa segala yang tersisa dari level kehidupan sebelumnya akan dilebur dan ditempa untuk masuk ke level kesadaran yang baru, begitu terus-menerus. Kesadaran pada level yang baru akan mengevaluasi kembali kesadaran sebelumnya dan melihatnya tidak lagi dalam ukuran tinggi-rendah yang mutlak. Segalanya hanya hangus dan dibangkitkan kembali.

Demikianlah kesan pertama saya terhadap kumpulan puisi ini. Jika boleh saya katakan, karya Syah Sandyalelana ini telah menghanguskan karya-karya Amir Hamzah demi membangkitkannya kembali dalam putaran asmara yang tiada henti.
_________________________________
* Irsyad Ridho mengajar di Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta.
* Tulisan ini merupakan pengantar buku “Sayap Sayap Phoenix” karya Syah Sandyalelana.