Judul Buku : Jejak: Wisata Menelusuri Jejak Peradaban Masa Lalu di Seputar Jabodetabek
Penulis : Diella Dachlan & Bimo Tedjokusumo
Penerbit : Epigraf
Tahun Terbit : 2018
Tebal : 256 halaman
Pertanyaan lah yang menggerakkan peradaban, bukan pernyataan. Kecurigaan, keraguan, rasa penasaran, dan keingintahuan lah yang pada akhirnya membuat manusia bergerak. Meskipun sejarah, merujuk pada kesimpulan sejarawan Yuval Noah Harari, pada akhirnya lahir dari eksperimen ketidaktahuan. Penemuan benua Amerika dan Australia atau pun revolusi Prancis adalah buah dari eksperimen ketidaktahuan.
Buku Jejak: Wisata Menelusuri Jejak Peradaban Masa Lalu di Seputar Jabodetabek yang ditulis oleh Diella Dachlan dan Bimo Tedjokusumo ini adalah sebuah catatan gabungan antara rasa penasaran dan eksperimen ketidaktahuan. Rasa penasaran lah yang menggerakkan Diella dan Bimo menelusuri situs peninggalan era megalithikum di Gunung Salak, prasasti Batutulis yang menyingkap legenda Prabu Siliwangi serta lapisan kisah Pakuan Pajajaran, jejak Kerajaan Tarumanegara di Kampung Muara Bogor, makam Jerman di Megamendung, hingga kisah Kartosuwiryo di Pulau Onrust.
Diella dan Bimo bukan sejarawan, juga bukan arkeolog. Mereka juga tak punya Latar belakang akademis untuk kedua hal tersebut. Diella adalah konsultan komunikasi yang sempat mempelajari sastra Jerman di Universitas Indonesia, Komunikasi Pembangunan Pertanian di Institut Pertanian Bogor, dan studi komunikasi dan media di University of Leicester Inggris.
Sedangkan Bimo adalah safety training instructor, alumni diploma sastra Jerman dan kriminologi FISIP UI . Satu-satunya hal yang membuat mereka “nyasar” menelusuri jejak situs-situs bersejarah di Bogor, Jakarta, dan sekitarnya adalah kesukaan mereka travelling, serta kesukaan Bimo terhadap batu.
Sesekali mereka ikut rombongan, tapi lebih banyak pergi berdua dan menikmati saat-saat “nyasar” karena mereka bisa melakukan observasi lebih mendalam, berinteraksi dengan penjaga situs atau pun warga di sekitar lokasi dan sesama pejalan. Nyasar adalah bentuk eksperimen ketidaktahuan yang justru mengarahkan keduanya pada “hal-hal baru.” Apa yang mereka temukan dan saksikan dalam perjalanan, serta jawaban tak memuaskan dari penjaga situs, membuat Diella mengulik jawaban dari literature offline maupun online.
Maka dalam Jejak, kita akan temukan, Diella tidak hanya mendeksripsikan prasasti Batutulis atau mencatat rute jalan, tapi juga menguraikan sejarah panjang Kerajaan Pakuan Pajajaran, hubungan Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa, relasi Siliwangi dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, perjanjian dagang Pakuan Pajajaran dengan Portugis, pemicu konflik Cirebon dan Pakuan Pajajaran, koalisi Demak dan Cirebon, hingga perebutan Sunda Kalapa dan runtuhnya Pakuan Pajajaran.
Hal sama juga kita jumpai saat membaca tulisan tentang jejak Kerajaan Tarumanegara di Bogor. Diella tidak hanya berkisah tentang prasasti kebon kopi I, prasasti telapak gajah, atau batu berbentuk dakon hingga membuat situs tersebut dinamai situs batu dakon, tapi juga tentang kemungkinan atau pun pemaknaan atas narasi yang tertatah pada prasasti kebon kopi II yang hilang di tahun 1941; tentang kemungkinan bahwa wilayah itu dulunya merupakan kerajaan kecil di bawah pimpinan kerajaan Tarumanegara, sebelum kemudian Tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda.
Diella juga memantik rasa penasaran pada pembaca awam tentang mengapa banyak prasasti ditemukan di pinggir sungai. Diella dan Bimo membiarkan banyak pertanyaan muncul dalam kepala mereka dan menuangkannya di buku ini. Mereka seperti sengaja mengajak pembaca untuk larut dalam rasa penasaran yang sama, sehingga ikut terdorong untuk mencari jawaban yang lebih memuaskan di tempat lain. Keduanya melakukan tradisi para pembelajar, yakni mempertanyakan segala hal dan tidak gampang puas dengan satu jawaban.
Sebuah Pengantar
Buku ini, seperti disampaikan penulisnya, memang harus dibaca sebagai sebuah pengantar. Buku ini sejak awal tidak dimaksudkan untuk memberikan jawaban atas rasa penasaran kita atas situs-situs bersejarah yang ada di kawasan Bogor dan Jakarta. Tapi justru disiapkan sebagai pemantik rasa penasaran kita terhadap hal-hal yang sebenarnya sudah kita ketahui tapi tidak kita pedulikan.
Diella dan Bimo agaknya menginginkan agar buku ini membuat publik, bahkan kalau bisa pemegang kebijakan, menaruh kepedulian terhadap perawatan situs-situs bersejarah di Indonesia. Minimnya perhatian terhadap situs-situs tersebut memang menyedihkan. Hal yang tak kalah menyedihkan adalah minimnya pengetahuan maupun informasi terkait dengan narasi sejarah dari situs-situs tersebut. Pun penjaga situs-situs itu sendiri tak bisa menjelaskan secara lengkap tentang sejarah keberadaan situs-situs tersebut. Hal yang menguatkan Diella dan Bimo untuk memproduksi buku ini dan mendedikasikannya untuk para penjaga dan perawat situs.
Sayangnya, keasyikan membaca catatan perjalanan ini agak terganggu dengan editing yang kurang rapi. Paragraf yang berulang, tahun yang salah, salah ketik pada daftar isi, serta masuknya posting facebook dalam masing-masing bab, cukup mengganggu ritme membaca. Pembaca yang di halaman-halaman awal berpikir membaca catatan perjalanan, tiba-tiba di halaman akhir bab merasa bahwa buku ini hanya kumpulan tulisan. Foto-foto yang ditampilkan dalam buku ini juga terkesan sekadar ilustrasi untuk tulisan.
Dicetak dalam warna hitam-putih, foto-foto ini kurang bisa dinikmati dengan baik oleh pembaca. Namun terlepas dari kekurangan tersebut, buku ini layak dibaca oleh anak-anak muda yang ingin memahami sejarah bangsanya dan ingin datang langsung ke lokasi situs-situs bersejarah tersebut. Buku ini merupakan pengantar yang baik dan sebuah catatan perjalanan yang menarik.
Namun untuk pembaca yang ingin mendapatkan pemahaman lebih dalam harus mencarinya di rujukan yang lain. Diella dan Bimo bahkan menyediakan daftar rujukan bagi pembaca yang masih penasaran. (Fransisca Ria Susanti)
Sumber: sinarharapan.net, 20 April 2018.