Merespons Realitas dengan Cerpen

Oleh Ardian Je

Cerpen… wahana untuk merespons realitas dengan gairah bertualang di lorong-lorong bahasa. —Wan Anwar

Cerpen, maupun karya sastra lainnya, bagaimanapun takkan bisa lepas dari realitas, kendati ia bersifat fiktif. Sefiktif-fiktifnya cerpen ataupun karya sastra lainnya sangat mungkin bertalian dengan realitas; ia bisa lahir oleh atau berangkat dari rasa ketakpuasan dan kekecewaan sang penulis terhadap realitas sosial yang muncul dan terjadi di masyarakat sekitarnya. Lewat cerpen pula sang penulis menciptakan dunia khayalan yang mungkin saja dunia tersebut bisa diwujudkan menjadi kenyataan di masa depan. Dan hal itulah yang saya temukan dalam buku kumpulan cerpen Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26? (Epigraf, Juli 2019) karya Ade Ubaidil, salah satu cerpenis muda Banten berbakat.

Ketakpuasan dan Kekecewaan

Pada buku setebal 164 halaman itu saya menemukan rasa ketakpuasan dan kekecewaan Ade terhadap realitas sosial yang terjadi di lingkungannya. Lingkungan yang saya maksud di sini ialah—bisa jadi—daerah tempat tinggalnya, yakni Kecamatan Cibeber, Kota Cilegon, Provinsi Banten atau mungkin lebih luas lagi Indonesia. Dan ia dengan aliran bahasa yang deras namun tak menenggelamkan pembaca dengan kalimat-kalimat menceramahi dan menggurui seolah-olah ia adalah orang yang paling tahu dan suci merespons realitas itu.

Ketakpuasan dan kekecewaan (dan keanehan) yang dialami Ade ditumpahkan ke dalam cerpen-cerpennya. Kita langsung bisa menemukan itu di cerita awal buku ini.

Setidaknya ada dua cerpen yang mengangkat problematika manusia (khususnya lelaki?) di usia 26, yakni Seni Hidup Lelaki Bujang yang ditempatkan pada urutan kedua dan Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26? yang ditempatkan pada urutan kelima belas, urutan terakhir, yang dijadikan judul besar dalam buku ini.

Apa yang kita bicarakan di usia 26? Ialah pernikahan. Jika mau ditambahkan, ialah pekerjaan. Jika mau diambahkan lagi, ialah materi duniawi yang menyilaukan, yang dipandang oleh sebagian masyarakat kita sebagai simbol kesuksesan. Dan jika boleh ditambahkan lagi, ialah sakit hati lantaran ditinggal kekasih hati atau mantan kekasih yang secara sembunyi-sembunyi masih kita sayangi kawin dengan orang lain.

Pada usia itu, yakni usia 26, hal-hal semacam itu lumrah terjadi. Dan mungkin juga dialami oleh penulis buku ini.

Ada perbedaan yang mencolok antara orang-orang kita dan orang-orang luar negeri saat berusia 26. Apa itu? Kalau negara lain berkompetisi dalam ilmu pengetahuan, di kampung saya malah berkompetisi soal pacar atau istri siapa paling bahenol (halaman 27).

Saya tersenyum saat membaca kalimat ini. Kenapa? Karena memang inilah realitas yang terjadi di masyarakat kita. Orientasi kita, baik yang tinggal di pusat kota ataupun di pelosok desa, jujur saja, bukanlah ilmu pengetahuan ataupun peradaban yang gilang gemilang, melainkan hal ihwal yang berkait erat dengan libido dan selangkangan. Adapun teknologi—yang sering disimbolkan sebagai kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban—oleh masyarakat kita digunakan hanya sebagai asesoris gengsi, indikator bahwa seseorang yang menggunakannya adalah orang yang modern, orang yang up to date, yang tak ketinggalan zaman, meski pada hakikatnya pemikirannya tidak modern.

Meski judul buku ini adalah Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26?, tidak serta-merta membahas problematika-problematika yang terjadi pada manusia berusia 26 saja. Ada hal lain yang diangkat dalam buku ini, yang tentu saja merupakan bentuk respons atas relitas yang terjadi seperti pernyataan Wan Anwar yang saya kutipkan di awal tulisan ini.

Sebagai penulis, melalui cerpen-cerpennya Ade merespons realitas yang terjadi dengan mengkritik pelbagai kalangan masyarakat; mulai dari perilaku menyimpang suami yang merantau namun tak pernah pulang seperti seperti pada lagu Bang Toyib; istri yang ditinggal suami lalu menjadi pelakor, perebut laki (suami) orang; asisten rumah tangga yang main gila dengan suami orang (cerpen Neraka di Kolong Meja); ayah dan anak yang jadi walikota dan keduanya menceburkan diri ke jurang kenistaan korupsi (cerpen Pesan Ayah); mahasiswa yang berkoar-koar menuntut perubahan tetapi tak mau menciptakan perubahan itu sendiri (cerpen Melihat Ikan Berenang); hingga pemuka agama yang merasa alim dan suci padahal hatinya busuk dan kelakuannya buruk (cerpen Imam Masjid).

Dari 15 cerpen yang termaktub dalam buku itu kita bisa mengetahui bahwa realitas sosial yang terjadi di masyarakat kita banyak yang tidak beres, membuat kita tak puas dan kecewa. Namun di sisi lain menyadarkan kita bahwa kita harus berusaha dan mengubah realitas sosial yang ada menjadi lebih baik, lebih baik dan lebih baik.

Ardian Je, penyair; pendidik di MTs-MA Al-Khairiyah Karangtengah Cilegon. Buku terbarunya bertajuk Lelaki Tua yang Menyapu sambil Menangis (2019).

________________________________

Tulisan ini merupakan catatan yang dibawakan oleh Ardian Je sebagai pembicara saat acara bedah buku Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26? karya Ade Ubaidil di Rumah Peradaban Banten, Cilegon, Banten, pada 28 Juli 2019.