“pendaki/pejalan adalah pencari, penemu, dan pengamal yang baik”
Melakukan perjalanan dan mendaki gunung adalah kegiatan paling purba yang dilakukan oleh umat manusia, sebagaimana Adam dan Hawa dalam beberapa kisah[1] yang diceritakan dipertemukan kembali keduanya di atas gunung setelah masing-masing melakukan sebuah perjalanan panjang.
Jika sebelumnya Adam dan Hawa hidup bersama di Surga, kemudian ‘dilemparkan’ ke dunia dan dipisahkan, maka misi pertama umat manusia di muka bumi adalah “mencari”, sebagaimana Adam dan Hawa yang saling mencari untuk bersatu kembali.
Tidak hanya berhenti dalam kisah Adam dan Hawa, Rasulullah Muhammad (ﷺ) dalam beberapa riwayat juga diceritakan sebagai seorang pejalan, bahkan spesifik merupakan seorang pendaki gunung –atau paling tidak jika kata “pendaki” dalam beberapa hal memiliki makna peyoratif sebagai predikat, maka sebut saja bahwa rasul juga mendaki gunung.
Dalam Sirah Nabawiyah[2] yang menceritakan dengan lengkap kisah rasul, diceritakan tentang perjalanan rasul mendaki Gunung Hira untuk sebuah “pencarian”. Rupanya, apa yang menjadi motivasi rasul melakukan perjalanan dan mendaki gunung kala itu, ternyata memiliki persamaan dengan beberapa kisah pada umumnya yang dirasakan para pendaki gunung, pejalan, traveler, hingga backpacker masa kini yaitu: untuk mendapatkan pencerahan, proses pencarian jawab atas pertanyaan ilahiah, hingga pertanyaan dan persoalan yang paling personal sekali pun.
Jika beberapa pendaki masa kini menggunakan diksi “mendaki karena galau”, “gelisah”, “resah”, dan seterusnya, barangkali hal yang sama juga dirasakan oleh rasul pada masa itu. Namun yang membedakan-nya; jika beberapa alasan pejalan dan pendaki mutakhir cenderung bersifat “pelarian”, hal berbeda ditunjukkan rosul, sebab ia melakukan perjalanan atas kekhawatirannya menyaksikan kondisi masyarakat di masa itu. Maka, ia mendaki gunung untuk “merenung” mencari jawaban atas pertanyaan dan persoalan-persoalan dalam peradabannya masa itu.
“Pulang”
Tidak hanya melalui kisah di atas yang identik dengan wilayah Timur Tengah dan dalam konteks agama identik dengan muslim. Dalam konteks lokal, kisah pejalan dan pendaki gunung dalam kebudayaan Nusantara yang identik dengan pencarian juga dapat ditemukan, salah satunya dalam naskah Bujangga Manik yang diperkirakan ditulis sekitar abad ke XV. Selain nama naskah, “Bujangga Manik” juga merupakan nama tokoh di dalamnya, naskah tersebut bercerita tentang perjalanan Bujangga Manik dari Pakuan (Bogor) yang melakukan perjalanan ke timur (Bali). Tujuan utama dari perjalanannya adalah untuk mencari pencerahan (ziarah) yang diyakini dapat ia temukan di gunung-gunung.
Alih-alih mendapatkan pencerahan di timur jauh, ternyata selepas perjalanan pulang dari Gunung Agung di Bali, pencerahan itu justru ia temukan di sebuah pegunungan yang berada di sekitar gunung Bandung, Gunung Patuha tepatnya. Apa yang terjadi setelah Bujangga Manik mendapatkan pencerahan di Gunung Patuha? Ia tak pernah “pulang” ke Pakuan sebab ia kemudian ngahiang, moksa, hilang di Gunung Patuha. Demikian kisah perjalanan Bujangga Manik diakhiri sebelum kisah lanjutannya tentang kehidupan setelah dunia diceritakan.
Berbeda dengan kisah Bujangga Manik, kembali pada kisah perjalanan yang dicontohkan oleh rasul, di mana ia mengajarkan konsep “pulang”. Dalam kisah perjalanan rasul, selepas mendaki terjalnya Gunung Hira lalu kemudian mendapatkan pencerahan berupa wahyu pertama yang ia terima di atas Gunung Hira, proses perjalanannya tidak berhenti di atas gunung. Setelah proses mendapatkan pencerahan atau menemukan apa yang dicari, proses selanjutnya yang ia lakukan adalah “pulang”, ia kembali melakukan perjalanan, menuruni curamnya pegunungan Hira lalu kembali ke tengah masyarakat untuk mengamalkan apa yang ia temukan.
Dalam konteks sebuah perjalanan dan kegiatan mendaki gunung, “pulang” adalah proses “kembali” dari perjalanan panjang menggapai tujuan. Jika puncak adalah bagian gunung yang menjadi tempat tujuan sebuah perjalanan, menuruni gunung untuk kembali ke tengah peradaban (rumah, masyarakat) adalah proses yang tidak bisa dipisahkan dari sebuah perjalanan yang utuh.
Jika dikembalikan terhadap apa yang dicontohkan rasul dalam perjalanannya mendaki Gunung Hira, pendakian merupakan simbol dari sebuah “pencarian”, mendapatkan pencerahan di atas gunung adalah simbol dari proses “menemukan”, dan pulang adalah simbol dari “pengamalan” atas apa yang didapati dalam setiap perjalanan.
Gunung Hira adalah saksi perjalanan dan pendakian yang identik dengan pencarian, penemuan, dan pengamalan yang dilakukan rasul, maka melalui kisah pencerahan rasul ini, gunung ini kemudian identik dan lebih popular dengan nama gunung cahaya, Jabal Nur.
Proelium dan Akhir Pencarian
“Sesungguhnya kita tengah dalam sebuah perjalanan, pasti pulang, dan tidak akan pernah bisa kembali”
Melalui Irham dalam novel ini yang dilekatkan dengan slogan “Kita pergi untuk pulang dan pulang untuk pergi lagi” Edelweis Basah hendak mengingatkan esensi dari sebuah perjalanan. Irham melalui slogannya bisa jadi merupakan pejalan dan pendaki gunung tangguh dan berpengalaman, tetapi ia diselimuti kehampaan, dan kekosongan yang belakangan ia sadari ketika bertemu dan diingatkan sosok perempuan yang menjadi follower-nya di sosial media. Ia dikejutkan dan disadarkan bahwa ternyata perjalanannya selama ini seringkali tidak utuh, sebab ia tidak pernah menyadari bahwa “pulang” adalah bagian penting dari sebuah perjalanan itu sendiri.
Edelweis Basah melalui tokoh Irham berusaha mengingatkan bahwa seberapa banyak, panjang, jauh, berat, dan penuh liku-nya sebuah perjalanan yang telah ia lalui, ia “hanya” akan bermakna ketika disadari. Disadari artinya setiap perjalanan dilalui dengan motivasi (tujuan) dan yang paling penting setiap perjalanan dapat dimaknai, dan sebaik-baiknya makna yang didapati adalah makna yang diamalkan, dengan kata lain perjalanan yang diakhiri dengan “pulang”.
Apakah Irham berhasil pulang dan mengamalkan?
Atau ia abadi dalam pencarian sebab selepas pulang ia pergi kembali?
Selamat Membaca, Proelium!
Pepep DW
(Penulis buku Manusia dan Gunung
[1] Khususnya kisah-kisah
[2] Paling sederhana ditulis oleh Muhammad Husaen Haekal (2005) dengan judul “Sejarah Hidup Muhammad”, atau lebih sohih dan lengkap dalam buku yang ditulis Ibnu Ishaq (syarah dan tahqiq” Ibnu Hisyam) berjudul “Sirah Nabawiyah Ibnu Hisham: Sejarah Lengkap Rasulullah”.