Rahasia Phoenix

Oleh Syah Sandyalelana

Saya tidak terkejut ketika banyak orang terkejut mengetahui saya merilis buku. Kebanyakan mereka lebih terkejut lagi karena buku pertama saya ini adalah kumpulan puisi. Iya, pu-i-si.

Sulit untuk memercayai bahwa saya, yang dianggap kasar dan brutal, bisa bermain-main dengan kata-kata paling manis soal asmara. Walaupun kenyataannya dalam Sayap-sayap Phoenix tema asmara hanya meliputi sekitar 30% dibanding keseluruhan 99 puisi di dalamnya, tetapi tetap saja bagi sebagian orang, puisi hampir identik dengan asmara. Dan mengidentikkan Syah dengan asmara seperti memperhubungkan vodka dengan halilintar atau jeruk dengan matahari sebagaimana Pablo Neruda dalam Kitab Pertanyaan.

Tentu saja saya pernah terlibat asmara. Yang paling awal, terjadi bertahun-tahun yang lalu saat saya tumbuh sebagai remaja soliter. Keterbatasan teknologi, modal dan pesona pribadi, membuat saya harus pandai-pandai mengoptimalkan instrumen kepercayaan diri saya sendiri. Dan selain kemampuan akademis berbasis RPUL (kitab suci pelajar 80 dan 90-an), puisi, ketika itu adalah salah satu yang bisa saya andalkan.

Tidak ada yang hebat dengan kisah asmara saya. Tidak semegah cerita Suminah dan tukang sapu yang dirawikan Ebiet. Atau Adso yang karena mencuri bercinta dengan seorang gadis desa di dalam biara sampai harus membuat pengakuan dosa kepada gurunya: William of Baskerville. Tidak, sama sekali tidak begitu. Datar-datar saja. Ketika itu, saya menikmati asmara dengan puisi-puisi yang saya tulis dalam buku pelajaran, milik saya, atau milik teman perempuan saya yang lugu-lugu, waktu itu.

Selanjutnya, banyak hal terjadi pada hidup saya. Persoalan asmara menjadi kecil dan tidak menarik lagi untuk dipuisikan. Kecuali tentu saja, hal-hal yang membawa saya menemukan istri saya sekarang ini. Saya mencoba menulis hal-hal lain, tetapi ada satu yang ternyata menjadi minat saya yang sesungguhnya, yang berkembang hampir menjadi semacam obsesi, yakni: kematian.

Saya sendiri beranggapan, tema terbesar puisi-puisi saya adalah kematian. Hadiah berupa kematian-kematian dramatis dalam kehidupan saya, sedikit banyak memengaruhi saya secara spiritual-psikologis. Membentuk pandangan saya terhadap kematian dari yang semula suram dan gelap, menjadi kadang-kadang tampak begitu megah dan terang-benderang. Dalam perenungan saya, pandangan manusia soal hidup dan mati sangat dipengaruhi oleh kemampuan (dan ketidakmampuan) mereka memahami waktu. Inilah yang kadang membuat hidup menjadi serba terburu-buru, termasuk dalam memaknai hidup dan mati itu sendiri.

Sayap-sayap Phoenix terbagi dalam tiga bagian. 1) Hujan Adalah Kekasih; 2) Kampung (Tanpa) Halaman, dan 3) Jiwa-jiwa Terlantar. Dari ketiganya, hanya bagian pertama yang bicara tentang asmara, itupun bukan jenis asmara yang indah-indah. Selebihnya (kalau boleh saya klaim) lebih banyak bicara tentang spiritualitas yang dipicu oleh kematian demi kematian, termasuk siklus hidup-mati yang saya alami sendiri. Bukankah dalam satu fase kehidupan ini saja, kita berkali-kali mengalami siklus a la Phoenix tersebut? Lalu bagaimana tidak megah dan menggelisahkan, siklus dalam kehidupan di luar umur.

Kematian adalah jenis kehidupan yang mau tidak mau akan kita hadapi. Mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan kengerian dan kesedihan, sama sia-sianya seperti mereka yang memilih memunggungi kematian.

Akhirnya, bagaimanapun, tafsir atas Sayap-sayap Phoenix sepenuhnya menjadi milik pembaca. Sebagai penulis, saya harus mengambil jarak sambil terus menenggelamkan diri dalam siklus yang tak putus-putus. Tabik!

Wajah usia sering tampak menakutkan
Keriput, luka dan masam
Tubuhnya bongkok menggendong waktu
Sementara waktu tak juga beranjak dewasa
Kekanak-kanakan dan manja
Dia mempermainkan segala hal semau-maunya
Ingatanku, ingatanmu …
Dan jarak di antara keduanya
Bingkai yang kupajang di dinding untuk ingatan,
sekarang dihuni mimpi buruk,
dan wajah-wajah ganjil yang tidak aku kenal
Bahkan tubuhku sendiri …
Entah siapa yang kini menghuni
Entah siapa yang benar-benar aku kenali
Entah …
_______

Puisi: Wajah
Buku: Sayap-sayap Phoenix

* * *