REVIEW BUKU SELALU ADA WAKTU UNTUK MASA LALU

Oleh Esty Riyani

Membaca buku ini hingga lembaran terakhir tentu sambil membayangkan kota P yang sempat kukunjungi sekitar 4 tahun lalu. Aku sepakat P adalah kota yang begitu indah. Di masa kecil penulis saja saat itu kota P sudah mempesona. Pun ketika aku mengunjunginya 4 tahun lalu. Apalagi sekarang. Ya, suatu saat aku akan singgah ke kota P lagi. Mengulang kenangan indah sekaligus bertualang lagi seperti sebelumnya (mudah-mudahan dengan vespa lagi ke sana).

Membaca buku ini begitu menyenangkan, ga cuma disuguhi pengalaman menarik tentang masa kecil si penulis. Pembaca pun pasti akan ikut terbawa ke masa kanak-kanak yang begitu menyenangkan dan pasti tak tergantikan keseruannya. Sambil ikut membayangkan masa kecil. Aku yakin pembaca pasti cengar-cengir sendiri ketika membaca buku ini (seperti aku ). Tentang kepoloson hati dan pemikiran anak kecil, dan tentang dunia masa kecil yang selalu diisi dengan hal-hal-hal yang tidak mungkin dilakukan lagi setelah dewasa.

Aku ikut sedih ketika membaca “Mbah Karto” dan ikut menyayangkan ‘mengapa si penulis tidak sempat ngobrol panjang lebar dengan mbah Karto saat itu’.

Di lembaran berikutnya “Dukun Ahli Segala”, aku disuguhi cerita yang awalnya aku mengira bakalan mengerikan seperti cerita film sundel bolong.. dan yah aku memang sempet merasakan kengerian (dasar emang aku aja yang penakut urusan semacam ini, sampai sekarang pun aku ga suka nonton film horor, pikirku “sudah mengeluarkan duit buat beli tiket kok malah ditakutin”), tapi setelah membaca paragraf berikutnya.. aku malah terpingkal-pingkal membayangkan sosok Bu Munjati yang lari terbirit-birit tanpa ba bi bu karena saking takutnya.

Sama halnya ketika aku membaca bab “Kang Temu”. Cerita yang sangat inspiratif dan menginspirasi si penulis.. begitu juga aku. Sekaligus sedikit cengengesan aku dibuatnya karena si penulis menggambarkan ‘panu layaknya sebuah peta’, hahahaha jangan-jangan saat itu pikiran penulis sudah melebar kemana-mana, ‘sebelah sini pulau ini..sebelah situ benua anu’. Terbersit doa juga ketika aku membacanya, ‘Semoga nanti suatu saat penulis masih ada kesempatan bertemu kembali dengan Kang Temu’.

Berikutnya lagi bab yang membuatku ga kalah cekikik an adalah “Kutu Rambut”. Aku bisa membayangkan situasi rumah antara percakapan sang Ibu dengan penulis yang menurutku begitu konyol sekaligus menggugah empati juga.. hanya gara-gara kutu rambut.

Ada yang lebih konyol lagi dan menggugah empati di bab selanjutnya yaitu “Para Orang Gila”. Keingintahuan penulis yang begitu tinggi alias keponya tingkat detektif.. mengajak ngobrol orang gila dan sayangnya ketahuan kakaknya, lengkap sudah jadi bahan olok-olakan di rumah . Paragraf berikutnya.. dialog antara sang Ibu dan penulis yang begitu syahdu pendekatannya ketika aku membayangkan suasananya. Aku bergumam ‘hmm ini yah cara pendekatan sang Ibu setelah marah dan mencubit anak perempuannya yang tingkahnya seperti anak jaran’.

Bab selanjutnya yang aku suka adalah “Rumah di Puncak Bukit”. Cerita yang menurutku cocok diangkat kisahnya lebih luas lagi ke layar kaca atau layar lebar. Di bab ini disuguhkan drama anak perempuan dari kecil hingga dewasa yang tak lepas dari drama. Mulai dari kecil yang hidupnya penuh perjuangan dan pengorbanan.. hingga pencarian jati diri ketika dewasa.. sampai-sampai ada acara kabur segala. Jujur.. aku jadi ikut sedikt panik dan was-was ketika membacanya, ‘dimanakah dia kini?’

Ah kebetulan juga aku suka lagu dari bab ini “Gadis di Atas Bukit”. Pas banget.. ketika mendengarkan lagunya memang terasa sedih yang kurasakan, begitu juga kisah yang dialami sosok perempuan di bab “Rumah di Puncak Bukit”.

O iya.. buku ini juga menyertakan album mini dari penulis berjudul “0357”. Berisi 6 lagu yang semuanya mewakili kisah-kisah di buku. Entah apa makna judul yang terdiri dari angka-angka itu, aku memang belum sempat bertanya pada si penulis. Yang pasti.. nanti aku akan mengulas albumnya sekaligus buku terbaru si penulis di edisi blog review berikutnya.

Bab berikutnya lagi yang aku suka adalah “Bu Guru Narti”. Cerita yang bagiku begitu mengharukan, sangat menginspirasi, penuh ketulusan dan semangat yang tiada duanya. Karakter yang sama dimiliki oleh “Kang Temu”, orang yang tak kenal lelah berjuang dan dipenuhi semangat tinggi serta dedikasi yang luar biasa.

Kemudian di bab berikutnya “Pantai Kota P”. Wah ini yang kutunggu..giliran membaca bab ini dari awal membelinya. Kenapa? Karena seperti di awal-awal ulasanku tadi, kota P itu begitu indahnya.. menyimpan panorama yang sangat indah dan alami.. termasuk hamparan pantai-pantainya, selain yang terkenal dari kota P adalah gua. Landscape yang berbukit dan cadas.. serta menyimpan begitu banyak pantai yang berbeda-beda. Belum lagi sungai-sungai khas dan berbeda di tiap wilayah yang ada di kota P. Indah semuanya..cantik! Makanya aku sepakat lagi dengan penulis, mengangkat tema kota P kurang afdol rasanya kalau tidak bercerita tentang pantai-pantainya.

Dan tentu saja aku langsung memutar memori ku lagi, kenangan ketika berpetualang hampir seminggu lamanya di kota P bersama suami naik vespa dari Surabaya.

Bab selanjutnya yang aku suka sekaligus sebagai bab penutup adalah “Sepeda Pertama”. Layaknya anak-anak pada umumnya, belajar bersepeda hingga memiliki sepeda pertama kali dalam hidup adalah momen yang paling menyenangkan dan ga mungkin terlupa. Selalu ada kejadian lucu dan unik.. bahkan masih melekat hingga kini. Begitu pun aku. Di bab ini diceritakan juga oleh penulis bagaimana rasanya memiliki sepeda impian pertama kali ketika masih kecil.. hingga akhirnya berpisah dengan sepeda tercinta.

Aku lebih sedih ketika membaca bab ini. Ikut merasakan momen terakhir dan perpisahan dengan sepeda tercinta yang membawa si penulis mengalami pengalaman seru dan banyak hal lainnya semasa tinggal di kota P. Iya.. lebih sedih daripada perpisahan yang konyol dan lucu dengan “Kutu Rambut”.

Akhir kata.. buku ini sangat-sangat inspiratif. Bacaan ringan dan sarat akan makna bagiku. Buat kamu yang tidak ingin melupakan kenangan masa kecil yang membahagiakan, buku ini harus kamu miliki dan bacalah. Dari sekian bab yang ku ulas.. bukan berarti bab lainnya tidak menarik. Tentu saja menarik dan tersimpan keseruan lainnya.

Mungkin ada yang memiliki masa kecil yang tidak menyenangkan dalam hidup, tapi setidaknya setelah membaca buku ini.. bisa menginspirasi pembaca untuk membangkitkan kembali kenangan yang manis dari sekian kenangan yang mungkin tidak menyenangkan. Toh tidak semua kenangan yang tidak menyenangkan itu tidak ada hikmahnya kan?, karena semua kenangan indah dan buruk adalah pengalaman tersendiri dan menjadi guru terbaik.

________________________________

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di estyriani.wordpress.com [18 Juli 2020].