Oleh Sawali Tuhusetya
Baru saja saya mendapatkan kiriman buku kumpulan puisi dari Mas Syah Sandyalelana, seorang penyair asal Tuban, Jatim. Kumpulan puisi bertajuk “Sayap-sayap Phoenix” yang memuat 99 puisi yang ditulis selama satu dasawarsa (2007-2017) ini terbagi dalam tiga bagian: 1) Hujan adalah Kekasih; 2) Kampung (Tanpa) Halaman; dan 3) Jiwa-jiwa Terlantar.
Karena dikelompokkan secara tematis, puisi yang diciptakan dalam kurun waktu sepuluh tahun itu tidak diurutkan berdasarkan waktu penciptaan, tetapi dipilah-pilah berdasarkan kemiripan persoalan yang diangkat. Mas Daniel Mahendra sebagai penyelia agaknya fasih benar menerjemahkan puisi yang “berserakan” itu ke dalam sajian kumpulan puisi yang mampu menuturkan berbagai persoalan yang tengah menggelisahkan sang penyair.
Secara umum, kumpulan puisi ini bertutur tentang persoalan “asmara” yang menggelisahkan “jagad cilik” si aku lirik dalam sejarah kehidupannya. Pilihan diksi semacam rindu, gerimis, senja, hujan, cakrawala, atau pelangi, misalnya bisa jadi sebagai sarana metaforis sang pengarang dalam mengekspresikan persoalan asmara yang menggeliat dalam ruang batinnya.
Dari 99 puisi, tiba-tiba saja saya tertarik untuk menyimak puisi “Sayap-sayap Phoenix” yang sekaligus menjadi titel antologi ini.
Sayap-sayap Phoenix
Aku pernah bersalah padamu, tentu saja
Sama seperti dirimu,
dan kesalahan-kesalahanmu yang belum tentu kuampuni
Kita bertemu sebagai abu
Setelah sama-sama lebur oleh panasnya cinta masa muda
Kau dibawa angin yang putus asa
Sedang aku dipanggang api yang berkhianat
Kita bertemu di danau berwarna pinus, berisi air mata peri
Kita lalu terlahir kembali,
setetes demi setetes, sebagai titisan phoenix
Yang telurnya terbuat dari bara
Lalu tetap sebagai pelangi
Sayapmu kini mengembang sempurna
Bulu-bulumu berkobar,
Berkibar seperti surai senja di cakrawala
Suaramu melengking sempurna
Indah, sekaligus mengerikan
Tatap matamu membakar lautan
Menjadi puncak gairah yang menghanguskan
Sekejap kemudian kita kembali menjadi abu
Menunggu dibangkitkan lagi dalam percintaan yang lebih menggairahkan
Dalam siklus kehidupan tanpa penghabisan.
Tuban, 2017
Apa yang menarik dari puisi ini? Dalam pandangan awam saya, puisi ini bertutur tentang perjuangan menuju keabadian cinta setelah melalui berbagai proses “reinkarnasi” sebagaimana kisah klasik Burung Phoenix dalam berbagai versi yang menggambarkan siklus kehidupan dan kematian yang konon hingga mampu mencapai lima abad lebih itu.
Larik-larik seperti “Kita lalu terlahir kembali/setetes demi setetes/sebagai titisan phoenix//Yang telurnya terbuat dari bara//Lalu tetap sebagai pelangi// saya kira cukup memberikan citraan inderawi tentang perjuangan dan penderitaan dalam siklus hidup-mati cinta seorang anak manusia yang mendambakan nilai kebajikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup.
Tentu akan lebih menarik jika buku kumpulan puisi yang diterbitkan oleh Epigraf (Bandung, 2017) ini dibedah lebih lanjut di berbagai forum. Bisa jadi tak hanya menyoal bagaimana gaya tutur dan style sang penyair dalam menemukan diksi dan metafor yang dianggap tepat untuk berekspresi, tetapi juga betapa cinta itu memiliki kekuatan dahsyat sepanjang sejarah peradaban umat manusia.
_________________________________
* Guru, sastrawan, penulis, blogger, tinggal Kendal, Jawa Tengah.