Era Si Unyil dan ”Little House on the Prairie”

Oleh I Made Nurbawa
Siang, Senin 7 Oktober 2019, seorang kawan memberi saya buku. Warna sampulnya hijau muda dengan gambar wanita berambut hitam duduk membaca buku, disebelahnya nampak bunga mekar berwarna kuning.
Kata kawan saya, buku itu titipan dari si “Anu” penulis buku yang tinggal di pulau seberang. Yah, memang sempat bertemu langsung denganya, awal 2019 lalu, hanya sekali saja, selanjutnya komunikasi berlanjut melalui aplikasi handphone.
Buru-buru buku itu saya buka, dihalaman pertama ada tulisan tangan. Tertulis nama saya, dibawahnya lagi tertulis “Selamat datang di dunia kecilku” plus 3 tanda titik, lalu tanda tangan.
Saya gembira dan senang menerima titipan buku itu, apalagi lengkap dengan tanda tangan si penulis. Bukti bahawa buku itu pemberian langsung dari si penulisnya. Saking senangnya saya minta tolong kepada kawan di kantor untuk mengambil gambar dengan HP, bikin poto sambil memegang buku. Setelah puas jepret-jepret, buku saya masukan kedalam tas dan kembali bergelut dengan rutinitas.
Entah, tiba-tiba saat itu muncul pikiran untuk tidak buru-buru ucapkan terima kasih kepada kawan saya di pulau seberang itu. Biasanya setiap menerima sesuatu yang berharga dan menarik dari seseorang, pasti saya langsung meluncurkan ucapan terima kasih melalui SMS atau WhatApp. Kali ini hal itu tidak saya lakukan, walau sebenarnya hal itu sangat mudah.
Malam, saat dirumah buku itu saya baca dengan seksama. Saya mulai melahap dari “pembuka kisah” lalu lanjut ke judul pertama. Hingga tengah malam mata mulai berat, saya mengantuk. Rupanya sisa kelelahan beberapa minggu lalu saat melaksanakan kegiatan besar tingkat provinsi lumayan masih terasa. Malam itu saya harus puas hanya bisa membaca tiga judul saja. Dari tiga judul pertama yang sudah saya baca, saya belum bisa menangkap inti sari dalam buku itu. Saya hanya yakin bahwa pasti ada sesuatu yang menarik jika nanti sudah membacanya hingga judul terakhir. Saya terus berharap agar segera bisa membacanya sampai tuntas.
Esoknya Selasa 8 Oktober 219, pagi-pagi sebelum berangkat bekerja, ditemani secangkir kopi saya kembali luangkan waktu membaca buku itu. Ada tiga judul lagi yang saya tuntaskan membacanya. Akirnya saya mulai bisa “meraba” dan merasakan sisi penjiwaan si penulis saat menyusun buku itu. Saya terbawa dalam suasana dan semakin bersemangat untuk menyelami puluhan kisah yang mulai menggiring mengusik pikirian. Saking penasaran dengan isi buku, saya sempat kembali ke halaman awal yaitu halaman “pembuka kisah”, yaitu semacam kata pengantar dalam setiap penulisan buku.
Hari ketiga Rabu 9 Oktober 2019, sekitar pukul 21.00 Wita saya akhirnya bisa menyelesaikan membaca seluruh judul tulisan. Seluruhnya ada 26 judul. Masing-masing judul disusun runut menggambarkan kisah perjalanan dan pengalaman penulis sesuai dengan alir waktu dan usianya.
Judul pertama “Datang di Kota P” di halaman 11, si penulis mengisahkan kenangananya saat pertama kali menginjakan kaki di kota P. Ia mengisahkan beberapa peristiwa dan hal-hal yang memukau bersama Ibu dan saudaranya. Saat itu Ia baru berusia 3 tahun. Tahun 1977, ayahnya mendapat tugas di kota P. Ibu dan saudaranya sementara tidak langsung ikut pindah ke kota P karena masih harus menunggu kabar dari ayahnya sembari ayahnya menyiapkan tempat tinggal di lokasi tugas yang baru. Akhirnya tiba saatnya ayahnya menjemput dan memboyongnya ke kota P. Saat mulai tinggal di kota P itu lah sederet peristiwa menjadi bagian dari ingatan si penulis. Puluhan tahun kemudian kisah menarik itu Ia tulis menjadi buku setebal 223 halaman. Di halaman awal tertulis “Untuk Kota P yang ku cintai”.
Mengapa hanya disebut kota P? mengapa kota tempat tinggalnya ditulis inisialnya saja? Saya sempat penasaran, lalu buru-buru membuka halaman berikutnya dengan acak. Ternyata hingga halaman akhir tetap tertulis Kota P. Tidak itu saja, masih ada lagi inisial “Kota B”, rupanya ada dua kota yang oleh penulis hendak “dirahasiakan”. Bisa jadi si Penulis tidak ingin para pembaca buru-buru mengenal nama kota yang dimaksud. Sepertinya nama kota tidak penting, tetapi kisah “unik”-nya itulah yang lebih penting.
Hingga judul ketiga saya belum bisa memastikan Kota P itu kota apa? Dimana dan bagaimana? Saya menduga-duga, bahwa agar bisa membuka “tabir” buku itu, kata kuncinya adalah “Kota P”. Rasa penasaran itu saya biarkan mengalir, saya yakin di ujung nanti pasti saya mengerti. Saya pun semakin bergairah untuk membaca buku itu.
Benar saja, setelah hampir 2/3 judul saya habiskan, saya mulai bisa meraba nama kota yang dimaksud. Ada beberap tempat yang saya kenal. Saya coba menebaknya. Lalu melacaknya di laman dunia maya online. Yah ternyata benar. Setelah hampir yakin kota P itu adalah salah satu kota di Pulau terpadat penduduk di nusantara ini saya pun tidak lagi penasaran dengan nama kota P, dan nampaknya si penulis sengaja untuk merahasikan kota P yang dimaksud. Bukan apa-apa, justru hal itu membuat kita menjadi focus pada pesan dan lika liku cerita yang disajikan.
Pengalaman si penulis di Kota P hingga tahun 1980 an adalah sisi menarik dari buku ini. Di masing-masing judul pembaca akan diajak ikut berpetualang dalam suasana kota yang digambarkan masih sunyi, tenang dan sederhana lengkap dengan prilaku warganya dalam berbagai profesi, keadaan dan karakter. Juga tentang situasi alam yang tergambarkan masih asri dan hijau. Masa itu masa di mana film serial Si Unyil lagi ngetop-ngetopnya di layar kaca TVRI. Juga sosok Laora dalam drama serial televise berjudul “Little House on the Prairie yang dibintangi oleh Michael Landon.
Dari 26 judul yang disajikan semuanya saling terhubung kuat dan padat. Bahkan kisahnya tidak beda jauh dengan kota kelahiran ku Kota T yang memiliki suasana serupa dijamannya. Dari paparan yang ada saya merasakan buku ini seperti “babad” yang menggambarkan jejak peradaban di masa lampau. Pembaca akan termotivasi menjadi ahli “tafsir” agar bisa menemukan inti sari kearifan, tatanan sosial dan humaniora lainnya. Membaca buku ini saya seperti diajak membaca garis sejarah Kota P, juga tentang kehidupan seseorang, peristiwa alam, kemiskinan, pendidikan, seni budaya, filosofi hidup dan sebagainya.
Saya juga sempat membaca berulang-ulang kisah “Endang Celeng” dihalaman 59 hingga halaman 62. Endang Celeng adalah kisah “hantu” yang ada di Desa Ploso. Kisah hantu yang melegenda ini terjadi gara-garanya ada gadis yang mengalami kecelakaan diperempatan jalan hingga merengut jiwanya. Gadis itu bernama E yaitu singkatan dari Endang. Konon saat si Endang terkapar meregang nyawa penuh darah, saat itu konon ada orang yang dengan sengaja meneteskan air jeruk nipis agar si Endang jadi hantu. Dan benar hingga bertahun-tahun rumor tentang warga melihat hantu E terus bergulir sepanjang waktu di Desa Ploso.
Berikutnya saya kembali terfokus di halaman 63 dengan judul tulisan “Keturuan Raja Mataram”. Saya sempat membaca ulang beberapa paragraph, karena di bagian ini mengisahkan tentang tradisi lama yang masih tersisa dan masih diyakini warga kota P. Digambarkan adanya keyakinan terhadap tradisi lama membuat orang-orang menjadi toleran, hormat kepada leluhur dan juga tumbuhnya generasi seni-tari dan tabuh.
Saat tiba di penghujung halaman, saya sempat terbawa dalam hayalan tentang kemolekan dan kecantikan Nyi Sarima, yaitu sosok penjual kopi di tepian aliran sungai Grindulu. Walau katanya tidak secantik artis ibu kota, tetapi kedalaman jiwanya membuat menarik para pelanggannya. Di bagian ini penulis menyajikan sisi “gelap” kota yang nampak sederhana yaitu pelacuran. Kisah Nyi Sarima sejalan dengan makna sesenggakan/perumpamaan Bali yaitu “Payuk perumpung misi Berem” yang kurang lebih artinya walau diluar nampak jelek tetapi didalamnya ada “berem” (semacam air tape ketan) yang rasanya manis dan enak. Justru kisah hidup Nyi Sarima sangat berkarakter dan tetap mengedepankan kejujuran walau berstatus “pelacur”. Salah satu prinsip hidup Nyi Sarima yang patut ditiru adalah “bagaimana membuat orang bahagia tanpa harus mendapat bahagia dalam bentuk yang sama”. Berikutnya prinsip bijak Nyi Sarima yang patut kita renungkan yaitu; “Jangan pernah mengambil setetes pun keringat orang lain, Tak kan selamat hidup kita”. Sanking terkesan dengan kata-kata bijak Nyi Sarima paragraph ini saya tandai dengan stabilo warna orange.
Begitulah penggalan kisah dalam buku berjudul “Selalu Ada Waktu untuk Masa Lalu”, buku anyar yang ditulis apik oleh Rella Mart lengkapnya Gusti Ayu Rella Masrt Diana Dewi (43 tahun) kelahiran Banyuwangi dan tinggal di Surabaya. Leluhurnya konon berasal dari desa yang sama dengan leluhur saya yaitu Desa Samsam Tabanan.
Bagi Rella Mart ada masa lalu yang harus dilupakan, tetapi terus melekat di ingatan. Ada masa lalu yang harus diingat, tetapi lekas menguap. Ada masa lalu yang tak memiliki arti, tetapi ada juga masa lalu yang justru memilih abadi. Selengkapnya silahkan anda baca sendiri !
Nah, setelah buku berhasil saya baca secara keseluruhan, saya akan menulis resensinya. Saya tidak ingin buku pemberian seseorang hanya diterima lalu di pajang di rak buku. Setiap buku pasti menyimpan pengetahuan, setidaknya buku bisa menjadi “penyambung” persahabatan (*)
Tabanan, 10 Okt 2019 (Pk. 01.10 Wita)
________________________________
Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di madenurbawa.com [10 Oktober 2019].