Oleh Dhenok Hastuti
Mengeja catatan, terlebih berisi sebuah kisah keseharian, seringkali mematutkan kita dengan pengalaman sendiri. Inilah yang kurasakan setelah membaca halaman demi halaman Sequoia. Catatan yang membuat perasaanku berasa campur aduk. Menyentuh, sedih sekaligus menghangatkan. Sedih, karena betapa aku tak memiliki pengalaman serupa. Sisi anak kecilku seperti berontak, kenapa aku tak mendapat kasih sayang seperti yang dialami anak itu? Hangat, karena tulisan Daniel Mahendra terlihat tulus menggambarkan hubungan kedekatannya dengan anak semata wayangnya, Sekala Sequoia Mahendra.
Sequoia, istilah yang bisa jadi asing buat sebagian orang. Terutama yang jarang bersentuhan dengan dunia flora. Istilah ini disematkan penulis sebagai nama tengah anaknya, demi harapan untuk selalu kuat, seperti halnya sequoia, pohon raksasa, pohon terbesar di Planet Bumi. Pohon yang umurnya bisa mencapai 3.000 tahun ini habitatnya ada di sebuah kawasan kecil di lereng barat pegunungan Sierra Nevada, California, AS. Sequoia dengan volume terbesar saat ini adalah General Sherman, yang tak hanya sebagai pohon terbesar di dunia yang masih hidup, tapi juga merupakan organisme hidup terbesar di muka Bumi. Umurnya sudah melewati 21 abad, dengan berat 1.250 ton, tinggi 83 meter, dan keliling batang pohon mencapai 31 meter (wiki).
Demikianlah, buku ini kuambil begitu saja dari rak buku daring-nya Malka. Tak menelisik isinya tentang apa. Semata karena judulnya yang unik dan kebetulan dijual dalam bentuk paket bersama buku lain. Setelah pesanan tiba di tempat kerja, baru ngeuh kalau buku itu merupakan catatan harian penulis tentang dan untuk anaknya.
Sequoia terbagi dalam 5 bab, dengan pembagian berdasarkan tahun penulisan. Dimulai tahun 2012 dan berakhir pada 2020. Isinya random, namun keseluruhannya ya melulu tentang si bocah. Yang membedakan dari masing-masing ceritanya adalah selipan pernik sesuai dengan konteks, hal-hal yang tengah menjadi tren dan bahan obrolan di tengah masyarakat.
Misal, seperti yang dituliskannya pada 12 Agustus 2018, bersinggungan dengan isu politik.
Ayo, Nak, kuajari kau mendirikan tenda, belajar mencintai alam, berteman dengan orang kebanyakan dan mensyukuri nikmat Tuhan. Kelak saat kau dewasa, kau kan berani menentukan pilihan bagi dirimu sendiri.
Kalau kau mau jadi seniman, jadilah seniman yang baik. Jika kau ingin jadi pengusaha, jadilah pengusaha yang elegan. Bilai kau bercita-cita jadi tentara, jadilah tentara yang membanggakan.
Sumprit, aku tak akan memenggal karirmu, hanya karena tiba-tiba memintamu jadi sekadar cagub atau cawapres. Karena niscaya yang demikian hanya akan menambah jumlah pengangguran.
Atau catatannya pada 23 November 2019.
Kau boleh jadi apa saja, Sekala. Walau pion sekalipun, yang maju sekotak demi sekotak untuk memulai langkah ke masa depan.
Bidak tak pernah mundur. Ia bertahan atau senantiasa maju, menggempur setiap persoalan hidup.
Ingat: strategi, pengalaman, dan waktu, yang kelak akan mengantarkanmu selincah dan semenawan gerak benteng, kuda, gajah, menteri, bahkan raja.
Namun, satu hal, Sekala: kalau kau kalah dalam bermain, tak perlu sewot, ngotot, apalagi sampai mengerahkan massa. Terima saja. Itulah kesatria!
Bisa dibilang ceritanya sangat personal, tapi ada nilai-nilai universal yang ditawarkan penulis. Misalnya tentang pembelajaran dalam berjuang untuk mendapatkan yang diinginkan. Pembelajaran tentang persahabatan dan keberagaman. Pembelajaran tentang semangat hidup.
Bagi yang bukan penggemar tulisan panjang, buku ini bisa dijadikan pilihan. Ada beberapa tulisan yang cukup panjang memang, namun sebagian besar adalah catatan ringkas. Itu pun sebetulnya ya tak seberapa panjang. Rata-rata setengah hingga tiga halaman. Sesungguhnya, bukan soal panjang dan pendek tentu saja, tapi tulisan yang sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Panjang yang terpuaskan oleh detail, atau pendek yang menggigit. Memang dibutuhkan kemahiran bercerita dalam hal ini. Dan Daniel melakukannya dengan baik.
Hal menarik yang kutemukan dari tulisan Daniel Mahendra adalah upayanya mengenalkan istilah-istilah baru.. persisnya, istilah-istilah yang sebetulnya sudah ada tapi nyaris tak pernah digunakan dalam keseharian. Pemilihan diksi yang dengan sengaja itu tentunya bukan tanpa alasan. Kurasa hal itu sebagai bagian dari andil Daniel untuk merawat Bahasa Indonesia. Selain kemampuannya membagikan cerita dengan baik dan menghangatkan, hal menarik lainnya dari penulis adalah kemampuannya meramu dry humour menjadi bagian cerita yang nonjok. Ini jenis kelakar yang ‘gue banget’. Kurasa aku perlu belajar banyak untuk membuat ramuan serupa.
Hai, Papanya Sekala, masih ada waktu untuk mengajari saiyah? #ehm
________________________________
Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di dhenokhastuti.com [24 November 2021].