Oleh Rifqi Yustianto Setyandaru
Syahdan, pada medio 1990 menjelang kelulusan siswa-siswi SMPN 2 Jember, tercetus ide untuk merayakannya dengan berdarmawisata ke Pulau Bali. Ide yang menarik tapi jelas butuh dana yang tidak sedikit. Apabila hanya mengandalkan iuran sesama murid, bisa jadi yang berangkat tidaklah semua dan rasanya kurang lega. Kemudian muncul ide lain, bagaimana kalau mencetak buku kumpulan puisi dan menjualnya kepada orang tua murid untuk menambah dana yang ada?
Puisi? Iya, puisi. Saat itu, setiap terbit majalah sekolah bernama Si Mini, rubrik puisi selalu terisi. Ada yang menggunakan nama terang, ada yang menggunakan samaran, kegenitan generasi yang dibesarkan Orde Baru yang barangkali akan ditertawakan putra-putri zaman kini. Begitulah, puisi-puisi yang terserak itu kemudian diseleksi lebih lanjut untuk kemudian dibukukan dan diterbitkan. Berjudul Puisiku Puisimu. Buku itu entah terjual berapa eksemplar, namun, yang jelas perjalanan ke Bali menjadi terlaksana dan kami semua bergembira.
Pemilihan puisi dan koordinasi pencetakan bukunya saat itu dipimpin oleh guru cum seniman sekaligus pembina OSIS bernama Pak Purwono. Kami biasa memanggilnya Pak Pur, meski beliau membahasakan dirinya dengan panggilan Wok.
Dalam ingatan saya dan ingatan kolektif alumni lain, rasanya beliau adalah guru paling menakutkan yang pernah kami temui. Bukan, bukan Matematika atau Fisika yang beliau ajarkan kepada kami. Beliau guru mata pelajaran Menggambar!
Sekilas memang sekadar menggambar, tapi intensitas dan emosi yang terlibat dalam pelajaran menggambar kala itu memang lebih menggiriskan dari mata pelajaran lainnya. Bagi beliau, seni adalah hal yang serius dan setiap murid tidak boleh meremehkannya sama sekali. Terlebih bila tiba saatnya penilaian hasil menggambar, buku gambar bisa dilempar karena gambarnya tidak serius dan memuaskan hati beliau. Buku gambar yang dirobek karena tak disampul dengan rapi, serta drama-drama serupa adalah hal yang rutin kami temui saat itu.
Akan tetapi 1987-1990 pun perlahan menjauh, rutinitas kehidupan menggerus itu semua menjadi serpihan-serpihan nostalgia belaka.
Sampai tiba-tiba pada akhir 2017, tiba-tiba saya dan Muhammad Syamsu Rizal dihubungi oleh Daniel Mahendra, yang sekarang menjadi penulis dan pengelola penerbitan independen di Bandung. Dirinya meneruskan ide dari Unshita Rini―sesama alumni 1990―yang memberitahukan bahwa Pak Pur ternyata punya kumpulan puisi yang rajin beliau tulis sejak puluhan tahun lalu. Puisi-puisi tersebut ditulis tangan, diberi ilustrasi oleh beliau sendiri, dan dijilid sendiri – tak ada yang peduli kecuali barangkali beliau sendiri.
Premisnya: mengapa tak dibukukan secara profesional karya beliau itu? Daniel Mahendra yang sekarang menjadi penulis pun salah satunya adalah atas dorongan dari Pak Pur sejak masih SMP. Dirinya merasa berhutang budi atas dorongan karier tersebut dan bertekad memberikan sesuatu yang berarti bagi Pak Pur di masa pensiun beliau. Begitulah.
Daniel ini―entah kenapa―meminta kami berdua turut membantu proses penerbitan buku ini agar dapat berlangsung lancar dan seksama. Dipikirnya saya tidak sibuk apa?
Namun, kenapa tidak?
Proses ini pun berlangsung selama beberapa bulan. Memilah dan mengetik ulang puisi-puisi beliau. Itung-itungan bujet pracetak dan cetak. Mengingat-ingat adik kelas #eh, sampai akhirnya semua dapat terwujud. Kumpulan puisi Pak Pur pun resmi terbit menjadi buku, ber-ISBN, serta masuk ke katalog Perpustakaan Nasional.
Abadi. Demikian Daniel Mahendra berbulat kata.
Akhirnya, semoga persembahan sederhana ini kami harapkan menjadi pengikat hati Pak Purwono dan seluruh alumni SMPN 2 Jember yang pernah beliau didik dulu.
Semoga Tuhan membalas kebaikan rekan-rekan semua.
Jakarta, 16 April 2018.