Selepas SMA, Zhibril rela tak melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Tentu bukan pilihan mudah. Bukan pula keputusan gegabah. Ia tetap bertekad menembus UI. Barangkali, ia hanya satu dari sedikit anak muda yang tahu tujuan hidupnya.
Namanya Zhibril Aba Bil. Usianya 20 tahun. Kang Epi mengenalnya saat ia jadi relawan Rumah Dunia di Serang, Banten. Kala itu usianya mungkin sekitar 17 atau 18 tahun. Belum lulus SMA, kurus, tidak banyak bicara, kesannya pendiam, serta tipe lebih senang berada di balik layar.
Ia tidak menonjol. Mungkin “kalah” jam terbang dibandingkan senior-seniornya di Rumah Dunia. Meski begitu, ia rajin mengirimkan cerpen-cerpen teenlit-nya ke berbagai media massa. Tak sedikit yang dimuat. Mulai dari Radar Banten, Story, hingga Hai. Meski begitu, dunia seolah belum meliriknya.
Namun di tahun 2014, sekonyong-konyong tersiar kabar bahwa ia baru saja lulus Pendidikan Dasar Wanadri. Wanadri?! Ya, W-a-n-a-d-r-i! Kang Epi pun terbelalak! Ia yang kurus, tak banyak bicara, tak menonjol, dan gemar merawi cerpen-cerpen teenlit, tiba-tiba telah sahih menjadi Anggota Muda Wanadri 2014 Topan Rimba. Mau tak mau, Kang Epi pun berdecak kagum.
Tak syak lagi, hutan dan gunung mulai ia sambangi. Perjalanan demi penjelajahan mulai ia akrabi. Dan tentu saja bukan sembarang pengembaraan. Ia ditempa alam. Ia disepuh kedewasaan. Sejak saat itu, Zhibril tak bisa dipandang sembarangan, batin Kang Epi menginsafi.
Dan waktu pun berjalan…
Pada 6 Mei 2016 sore, seorang lelaki muda mengenakan jaket dengan ransel di punggung tampak berdiri tegap di depan pagar kantor Epigraf. Zhibril nama lelaki itu. Ia mengaku hanya datang bertandang. Ia menyodorkan tangan. Genggamannya erat. Kepalannya kuat. Kang Epi pun bersenang hati menyuguhkan kopi.
Rupanya Zhibril tak seperti yang Kang Epi kira. Siapa nyana, ia senang bercerita. Ia ekstrover dan to the point. Ia banyak tergelak, tawanya lepas lagi keras. Itulah untuk kali pertama Kang Epi betul-betul berbincang cukup lama dengannya. Kami pun bertukar cerita, berdiskusi, diselingi seruput kopi. Hingga tanpa sengaja obrolan kami berbelok ke arah naskah, karya, penulisan, dan dunia penerbitan.
Siapa yang mengira jika di kepalanya telah tersimpan bergepok-gepok ide cerita, kumpulan cerpen, catatan perjalanan, juga rawian petualangan. Wow! Lagi-lagi Kang Epi terperangah. Lantas diam-diam membatin: sepertinya lelaki muda ini tengah membangun karakter di setiap karya-karyanya: petualangan!
Malam pun melarut.
Tepat empat minggu setelah pertemuan sore itu, pada 6 Juni 2016, Zhibril kembali menyambangi kantor Epigraf. Namun, ada yang berbeda dengan senyumnya. Pada perkunjungan tersebut, ia telah menggenggam buku terbarunya, “Pendakian Terakhir”, besutan Epigraf. Senyumnya pun mengembang! Ya, ia boleh saja berbangga. Wajar. Karena itulah untuk kali pertama ia memiliki buku solo perdana.
Tak lama, suara azan magrib terdengar berkobar-kobar. Kami pun berbuka puasa. Sekadar menyeruput teh, beberapa lembar mendoan, dan sekelumit cerita tentang rencana launching, bedah buku, promosi, serta distribusi mandiri.

Ketika sedang asyik-asyiknya mengunyah mendoan, tiba-tiba ia menyela, “Kang, ehm, kayaknya, mulai minggu ini sampai bulan September, aku harus menyelesaikan tugas akhir program anggota muda Wanadri.” ujarnya pelan. Kang Epi mulai memicingkan mata. “Melakukan pendataan di pantai utara Subang.”
“Lalu?” tanya Kang Epi masih asyik dengan mendoannya.
“Sayangnya, di sana nggak ada sinyal, susah kendaraan, nggak bisa bolak-balik ke Bandung, ke Jakarta apalagi ke Serang. Betul-betul harus menetap di sana sampai September.”
“What?!” Sontak Kang Epi terperanjat. Pikiran Kang Epi mulai porak-parik. Seketika dalam hati membatin: padahal bukunya baru saja terbit. Sedangkan soal launching, bedah buku, promosi, serta distribusi mandiri, baru saja kami bahas.
“Apa boleh buat, Kang, beginilah hidup seorang pengembara!” katanya pasti.
Seketika tenggorakan Kang Epi betul-betul tersumpal potongan mendoan tak berdosa.
Bandung, 7 Juni 2016.
― Kang Epi ―
[sep merangkap kerani di Epigraf]